Keanekaragaman Pola Pikir Santri Mahasiswa
Oleh : Fathur rohman [1]
Sering terbesit didalam hati sanubari para lulusan universitas atau
pesantren, tatkala mula-mula masakuliah begitu girang untuk menyampaikan
misi begitu terkonsep dan terlihat sangat jelas. Namun prakmatis itu terjawab
manakala fress graduadeatau gelar akademik telah ia sandang. Seleksi
alam akan menjawab seberapa mutu-tidaknya kapabilitas seseorang akan
terlihat, dengan demikian hal yang ia tekuni selama ini tidak semuanya bisa
teramplikasikan secara maksimal ”rak kanggo”. Contoh yang nyata bisa
kita amati bersama para lulusan semua jurusan mengalami kegalauan yang
sangat dahsyat ketika setelah lulusan tidak mempunyai aktifitas yang layak.
Mari kita amati mulai dari lulusan pesantren, kita sadar kurang apa rekoso atau tirakat yang dilakukan sehari-hari para santri, untuk mencapai derajat mulia atau lebih sederhananya hidup serba kecukupan, dari hal itu saya pernah teringat yang disampaikan Prof. Dr. K.H.Zamah Syari dhofar, pondok pesantren di pulau jawa lebih dari 2000 pesantren yang tersebar di penjuru kota dan desa di pulau jawa. Namun kenyataannya beribu-ribu lulusan pesantren tidak menimbulkan pengaruh yang tampak, malah bisa dikatakan rekoso kehidupannya setelah keluar dari pesantren dari segi finansial, hal ini yang seharusya patut kita sadari bahwasannya kehidupan di luarsana atau di dalam masyarakat luas tidk semudah yang selama ini kita bayangkan, karena ini semua menyangkut keikhlasan kita dalam menegakkan panji-panji agama Islam nantinya, bayangkan saja jika lulusan pesantren cukup dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pastinya dalam berdakwah mubaligh tidak akan bersifat toma’.
Fakta lain yang harus kita sadari adalah duni pesantren berbasis
mahasiswa, saya yakin dengan kolaborasi pesantren dengan mahasiswa akan
mencetak generasi-generasi khoiro ummah yang madani, mumpuni dan dapat
bersaing dikancah masyarakat kelak pada saat lulusnyaoutput, beberapa
pembesar dari desa masing-masih mempunyai harapan besar dengan salah satu
pemuda-pemudi yang hijrah bertahun-tahun ke negeri atau daerah tetangga dengan
harapan nantinya akan menjadi agen of change yang bisa menggantikan dan
memperbaiki keadaan di tempat tinggalnya. Kenyataannya banyak yang belum
memberanikan diri untuk perforem setelah lulus dari kampus dan pesantren di
desanya masing-masing,dengan alibi bermacam-macam bahkan ada yang bermikim di
tempat pendidikannya.
Ada pula yang sedikit beruntung atau berpangku tangan paling tidak,
tidak di sebut pengangguran setalah lulus dari pesantren atau sudah mempunyai job
description, yaitu seorang putra
dari pemuka agama atau kyai yang disebut gus atau neng yang
setelah lulusnya paling tidak langsung berkiprah di pesantrennya, sehingga
beliau-beliau ini tidak begitu memusingkan diri untuk mencari kesibukan setelah
lulus dari kedua lembaga ini, bisa dibilang nimbrung wong tuo.walaupun
memang mempunyai kapasitas yang mumpuni sebenarnya. Seorang yang sudah berbasis
pesantren mualidari kecil yang telah mendapat pengajaran secara langsung wajar
sara kalau mempunyai kelebihan dibanding teman sebayanya.
Mengabdi
di pesantren
Sebagian pesantren mengajari para santrinya dengan semboyan “yen
pengen mulyo yo rekoso lan ngabdio”, secara realita kita patut menggarukkan
kepala ketika slogan ini ancapkali di ucapkan para tenaga pengajar, memang
benar ketika kita sudah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu di pesantren
akan tetapi ada sesuatu yang kurang ketika telah tercapai target waktu menempuh
studi maka jangan ragu mengabdilah di pesantren karena ada banyak hal yang ada
dilingkungan pesantren yang akan terjadi diluar batas kemampuan kita untuk
memikirkan hal tersebut. Dan juga dibarengi dengan bekal-bekal yang sekiranya
bermanfaat atau berguna di masyarakat nantinya, seperti berlatih tahlil,
khutbah, menyembelih hewan”udhiyyah” dan juga mengurus jenazah
yang semuanya itu berkutat pada lulusan pesantren sebagai rujukan masyarakat
nantinya.
Namun kita perlu sadari tidak semua santri berorientasi menjadi muballigh
semuanya, karena ada juga santri yang berorientasi membuka lapangan kerja yang
dirasa lebih bermanfaat kedepannya dengan tidak meninggalkan kekhasan
pesantren, mereka berfikir berdakwahnya dengan harta seperti teman nya yang
telah menjadi kyai yang membutuhkan dana, maka santri yang satu iniberfikir
dengan berinfakakan bermanfaat dalammenegakkan panji-panji agama,saya kira
pemikiran modernis seperti ini tidak sepatutbya kita salahkan malah seharusnya
trobosan baru yang harus kita beri apresiasi yang setinggi-tingginya untuk
menyiapkan generesi-generasi hebat kedepannya.
Seiring pergantian zaman,seharusnya penyikapan terhadap isue-isue
keagamaan juga harus kita waspadai, sebagai santripastinya tidak semua
kelihatan kemampuannya pada saat tinggal pesantren, akan tetapi coba kita
tengok kedepan,pasti selama ada keniatan yang ikhlas dalam menuntut ilmu, maka
tanpaharus tampak di pesantren ternyata setelah keluar dari pesantren ternyata
banyakteman-teman yang heran dan kagum padanya,waallaahu ‘alam.
Namun yang disayangkanlagi ketika didalam pesantren tekun sekali
mendalami dunia pesantren sampai-sampai tidak tahu dunia isue-isue di luar,maka
patut kita waspadai fenomena-fenomena semacam ini, karena barangkli pada saat
di pesantren banyak pujian yang mengalir deras bagi dirinya, akan tetapi
setelah lulus, mereka baru merasakan seberapakejam kompetisi dalam segala
bidang dimasyarakat, mulai bidang talenta, da’wah dan persaingan global
perekonomian, untuk menyikapi semuanya ini tidak cukuphanya berpangku tangan.
Ada juga karakter santri yang liar, sekilas tampak bagus seorang
santri yang selalu berorientasi dan berkiblat kebarat dalam segalabidang, mulai
dari pola berfikir, stile pakaian hingga cara menyampaikan argumen atau cara
bicaranya, sekilas begitu berapi-api sampai-sampai kelihatan pandai sekali
sehingga semua lawan bicaranya dianggap sama porsi dalam diskusi ringanpun
kebawa mentalkebablasan semacam ini, hal demikian hendaknya harus disadari
betul bahwa pola pikir yang semacam ini sepenuhnya tidak salah, namun kurang
etis ketika semua porsi pembicaraan harus dikolaborasikan dengan barat,
idialisme semacam ini tampak bagi santri yang baru-baru mengenyam dunia
perkampusan yang dianggap lebih populer daripada dunia pesantren yang
sesungguhnya, kita tahu dunia pesantren dalam hal ini lebih diperlihatkan dan
dikemas dalam akhlak dan berbudi, sehingga dalm mengaspirasikan sebuak keilmuan
atau khalaqahpun ada tata caranya yang etis hingga tampak liar dan
liberal,inilah gambaran atau cermin seorang santri yang kebablasan atau baru
kemaren sore yang tau akan kebebasan berfikir sampai-sampai tidakbisa
menempatkan sesuatu pada tempat semestinya “mahasiswa baru”, kalau kita
bercermin banyaktokoh-tokoh Islam yang yang pemikirannya cemerlang dan
kontrofersi hingga banyak kritik yang masuk, seperti Prof. Dr. K.H.Sa’id Akil
Shiraj , dalam beberapa karyanya banyak terlihat liberal dalam sudut pandang
sebagian banyak orang awam yang pengalamannya seumur jagung, namun ketika
tulisannya terdapat kesalahan maka beliaupun legowo untuk diberikan
masukan dan membangun, karena beliau sadar dan paham betul bahwa kita tidak
bisa memaksakan kehendak karena keterbatasannya pengalaman yang ia
ketahui, sehingga tulisan kang Said
(panggilan akrab beliau) tampak melenceng dalam kacamatanya, oleh sebab itu
sungguh ironi kalau ada santri berbasis mahasiswa yang polapikirnya seperti
itu.
Bagaimana
Pola Pikir Maha Santri Yang Seharusnya?
Dalam segi pendidikan saya memetakannya menjadi empat katagori
keilmuan, pertama, mahasiswa berbasis santri, kedua santri berbasis mahasiswa,
ketiga pemuda perbasis santri saja, dan keempat pemuda berbasis mahasiswa saja.
Dari sederatan katagori pendidikan maka akan menhhasilkan output yang
berbeda pula.
Pertama, mahasiswa berbasis santri begitulah sebutan yang mudah
ketika kita mengatakan mahasiswa yang lebih tertarikkeilmuan pesantren.dengan
penekunan materi yang berbasis kitab kuning dan pemikiran doktrinan yang
diberikan oleh ustadz sehingga polapikir yang dihasilkan dari gemblengan oleh
para ustadz akan terlihat tawadhu’ dan sendikodawuh dalam segala
bidang,meskisering ketidak sesuaian hati sanubari santi tersebut, tapi karena
besikajarannya adalah ana qari’ waangta sami’ wallahul hadi, maka segala bentuk
tindakan pola berfikir harus disesuaikan dengan doktrin yang ada, model
mahasiswa santrisemacam ini cocok dalammenekun dunia da’wah atau muballigh yang
sering
Komentar
Posting Komentar